Senin, 22 Februari 2021

Sejarah Ilmu Filsafat

 Rahmad Romadon Srg

  Sejarah Ilmu Filsafat 

Disusun oleh Rahmad Romadon Srg mahasiswa PAI,FTIK,IAIN PADANG SIDIMPUAN 

A.Sejarah Ilmu Filsafat 

     Zaman Yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau antara + 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat digantikan dengan logos (baca: rasio) setelah mitos-mitos tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis. Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning power.           Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain. Tetapi bagi mereka yang sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang diktakan oleh Pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang  menjadi perhatian para ahli pikir Miletos --sebuah kota di Yunani-- pertama kali adalah alam (problema kosmologis). Zaman ini melahirkan pakar-pakar filsafat yang berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, Thales (+ 625-545 S.M), Anaximandors (+ 610-540 S.M), Anaximanes (+ 538-480 S.M), Pythagoras (+580-500 S.M), Xenophanes (+570-480 S.M) Heraklistos (540-475 S.M) dan seterusnya. Thales misalnya yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah airSedangkan menurut Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang disebabkan oleh penceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan Anaximanes, dia berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara. Pendapat Thales dan kawan-kawan sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai inspirasi bagi munculnya teori tentang proses kejadian sesuatu (evolusionisme). Dalam hal berpikir logika deduktif, nama Aristoteles (384-322 S.M) tidak bisa dilupakan. Dasar-dasar berpikirnya tetap mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini. Aristoteles adalah murid Plato (427-347 S.M) dan Plato adalah murid Sokrates (469-399 S.M). Perbedaan pendapat pada masa ini sudah timbul meski dengan gurunya, seperti Plato dengan Aristoteles, juga filosuf-filosuf  yang lain. Hingga kini logika Aristoteles tetap terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan pada perkembangan muttakhir berbagai ilmu dan teknologi. Mula-mula logika Aristoteles menjelma dalam prinsip kausalitas ilmu alam (natural science), kemudian menjelma menjadi logika ekonomi di dalam industri (Cony R. Semiawan et.al, 1988 :10). Pasca Aristoteles, kira-kira lima abad kemudian, muncul lagi pemikir-pemikir jenius seperti Plotinus (284-269 S.M). Zaman ini adalah zaman filsafat Hellenisme di bawah pemerintah Alexander Agung. Hanya zaman ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles, dimana perkembangan ilmu tidak mengalami kemajuan yang pesat hingga abad pertengahan. Pada masa ini pemikiran  filsafat yang teoretis menjadi praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. Muncul pula aliran yang bercorak relijius, misalnya: filsafat neo-Pythagoras, Platonis Tengah, Yahudi dan Platonisme, termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun Hadiwijono, 1989 : 54). Pasca Yunani, bangsa yang berbudaya tinggi adalah Romawi. Dapat dikatakan, bahwa dalam kegiatan keilmuan bangsa Romawi pada umunya hanya berpegang pada karya-karya tokoh Yunani, terutama Aristoteles yang tanpa banyak mengadakan perubahan (Cony, et.al., 1988 : 14). Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik Roma, kerajaan-kerajaan di Eropa masuk dalam abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan keilmuan yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa tidak concern terhadap perkembangan keilmuan disamping terlalu kuatnya pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988: 14). Sangat beruntung, selama kurun waktu ini di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan bangsa Arab yang diwarnai oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan keilmuan. Dengan didudukinya daerah-daerah Yunani dan Romawi secara berangsur-angsur oleh bangsa Arab, maka para ilmuwan mereka dapat memiliki khazanah pengetahuan yang sudah maju saat itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan memberikan ciri-ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca: kaum muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15). Pasca Hellenisme dan Romawi kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun Barat. (Disebut demikian karena masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira pada abad ke-8). Para pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang berbeda-beda, ada yang menerima filsafat Yunani dan ada yang menolak mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989 : 70). Setelah ini kemudian muncul zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan Skolastik menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan abad ini diajarkan oleh sekolah-sekolah gereja (Harun, 1989: 87). Pada zaman pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung abad ke-15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat oleh agama, tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento Wibisono, 1988: 4). Sejak saat inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia bebas “mengadili” dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup dan kehidupannya. Pada saat ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair tidak manunggal lagi. Agama mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan, kebenaran wahyu dan firman Tuhan, sementara filsafat dengan mengembangkan rasio dan pengalamannya mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan semangat “kebebasan” dan “pembebasan” manusia dalam hidup dan kehidupannya (Koento Wibisono, 1985 : 7-8). Diawali oleh metode berpikir ala Bacon (1561-1626 M) disamping tampilnya “anak-anak” renaissance, seperti: Copernicus (1473-1630 M), Galileo (1564-1642 M), Kepler (1571-1630 M) dengan hasil-hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah gilirannya kini filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Para filosuf sendiri sangat terpukau oleh keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga timbullah gagasan di antara mereka untuk menerapkan metode tersebut dalam filsafat, misalnya Newton (1643-1727 M) dengan Philsopohae Naturalis Principia Mathematica-nya, Descartes (1596-1650 M) dengan Discours de la Methode-nya, Spinoza (1632-1677 M) dengan karya Ethic-nya dan seterusnya, yang dengan pengembangan teori-teori tersebut mereka dipandang sebagai “Bapak” filsafat modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Hampir dua abad lamanya, filsafat modern yang dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh pergumulan hebat antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar Immanuel Kant (1724-1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen Vernunft berhasil “memugar” objektivitas ilmu pengetahuan modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Demikianlah kemajuan berpikir manusia dari kurun ke kurun mengalami perkembangannya, mulai dari zaman Yunani Kuno, zaman renaissance(abad ke-15), Aufklarung (abad 18) hingga abad ke-19 dan abad ke-20, mulai dari dari J.C. Fichte (1762-1814 M) hingga Gabriel Marcel (1889-1973 M), bahkan hingga 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

FILSAFAT ILMU FILSAFAT IDOLA MASA DEPAN

 Disusun oleh: Rahmad Romadon Srg e-mail: romadonrahmad64@gamil.com                                                                       ...