Jumat, 25 Juni 2021

FILSAFAT ILMU FILSAFAT IDOLA MASA DEPAN

 Disusun oleh: Rahmad Romadon Srg

e-mail: romadonrahmad64@gamil.com



                                                                       PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

                                                        FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN



Abstrak:

 Ilmu terus berkembang, dan manusia yang melakukan dengan akal pikir dan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu karakter manusia yang sehat yaitu berpikir, yang pada gilirannya menghasilkan ilmu. Ilmu sangat berarti bagi hidup dan kehidupan manusia karena ilmu menjadi salah satu alat untuk mengatasi permasalah hidup dan kehidupan manusia. Ilmu yang kebenarannya relative memiliki karakteristik empiris, sistematis, objektif, analitis, verifikatif, progresif, kritis dan perwujudan timbal balik teori dan praktik. Ilmu terus mengembangkan dirinya bersama perkembangan jaman dan masyarakat. Ilmu dalam perkembangannya mencari kebenaran tak bisa lepas dari benturan dengan masalah hakikat, dan saat itulah ilmu akan meminta bantuan dan solusi pada filsafat ilmu yang selalu berusaha menyingkap hakikat yang ada dibalik tabir ilmu. Kemudian filsafat ilmu pun menjadi idola ilmu-ilmu di masa depan. 

 Pendahuluan

 Waktu terus berjalan, dunia semakin mengglobal, dan manusia pun berpikir cepat secepat kilat di atas langit mendung. Manusia berpikir tentang diri sendiri, berpikir tentang alam dan Tuhan, disamping berpikir masa lalu, masa kini dan masa datang; pendeknya berpikir segala yang ada, dan berpikir sepanjang hidupnya. Manusia yang berpikir segala yang ada secara mendalam sampai ke akar-akarnya menunjukkan manusia tersebut telah memasuki pintu gerbang dunia filsafat. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang segala sesuatu yang menyelidiki keterangan atau sebab yang sedalamdalamnya (Poedjawijatna, 1980:8). Manusia yang berpikir tentang inti sari, esensi dan substansi atau berpikir hakikat sesuatu yang ada, berarti manusia itu telah keluar dari bingkai lingkaran atau batas penjelajahan ilmu (science), dan telah menginjakkan kakinya di lingkaran dunia filsafat, dunia cinta kebijaksanaan.

Lingkaran dan penjelajahan ilmu yang merupakan karya manusia hanya dalam batasan dunia empirik dan partikular, ilmu tidak mampu menembus sesuatu yang ada dibalik dunia empirik. Meskipun demikian ilmu mampu mengubah dunia yang lebih maju, dan mengubah manusia untuk lebih berbudaya dan beradab serta mempermudah perjalanan hidup manusia menuju titik tujuan yang diinginkan. Tetapi manakala ilmu menghadapi problema dinding tebal hakikat atau masalah yang ada di balik kenyataan yang dalam hidup dan kehidupan keilmuan, Ilmu akan menyerahkan kapling problema itu ke filsafat ilmu untuk memecahkannya dan mendapat titik terang jawaban. 

 Pembahasan

 1. Percikan Filsafat Ilmu 

                Filsafat ilmu menjadi pahlawan pemecah kebuntuan problema yang dihadapi ilmu, karena ilmu tak bisa mengatasi benturan, tak mampu memecahkan problema yang dihadapinya, khususnya tentang hakikat ilmu. Jujun S. Suriasumantri mengatakan: filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mangkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah) (Suriasumantri, 2010:33). Peter Caws berpendapat: Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Sedang May Brodbeck merumuskan filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu (Gie, 2012:10,21). Hal senada dikatakan Mohar, Filsafat ilmu ialah suatu usaha akal manusia yang teratur dan taat asas menuju penemuan keterangan tentang pengetahuan yang benar (Akhadiah dan Listyasari, 2011:109). Berdasar rumusan di atas, dapat diartikan filsafat ilmu ialah bagian filsafat yang mengkaji hakekat ilmu, atau ilmu yang membahas landasan ilmu secara filsafati. Jelas kiranya landasan atau hakekat ilmu bukanlah ladang bahasan atau kajian ilmu yang bingkai-bingkai bahasannya keluar jauh dari pangalaman manusia, melainkan menjadi lingkup bahasan filsafat ilmu yang selalu mencoba meng”atas”i ilmu hasil pikir dan rekayasa manusia. Dengan kata lain filsafat ilmu selalu membuka pintu, menerima dengan tangan terbuka dan senyum manis untuk memecahkan problema yang diserahkan ilmu, seperti masalah landasan atau hakekat ilmu. 

                Hakekat ilmu atau landasan ilmu yang menjadi kapling dan garapan filsafat ilmu, akan dapat dipahami melalui tiga aspek yangada dalam ilmu, seperti aspek ontologi (apa), epistemologi (bagaimana), dan aksiologi (untuk apa). Aspek ontologi mengenai apa yang dikaji ilmu atau tentang ada sebagai obyek ilmu, aspek epistemologi mengenai bagaimana proses mendapatkan ilmu, dan aspek aksiologi mengenai untuk apa ilmu itu digunakan. Dengan kata lain ketiga aspek itu menjadi landasan filsafat ilmu dan teropong untuk melihat tentang hakikat ilmu, proses ilmu, dan kegunaan ilmu. Ketiga aspek tersebut saling berkait, bila membahas masalah epistemologi ilmu maka tidak bisa lepas membahas ontologinya dan aksiologinya; begitu pula sebaliknya namun aspek ontologi yang mendasari dari kedua aspek yang lain dalam membahas sesuatu masalah yang muncul dalam hidup dan kehidupan ilmu.

            Filsafat ilmu sebagai ilmu tentulah memiliki tujuan yang hendak dicapai. Menurut Martini Djamaris tujuan filsafat ilmu yaitu:

 1. Memperdalam unsur-unsur pokok ilmu sehingga secara menyeluruh dapat dipahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu; 2. Memahami sejarah pertumbuhan dan perkembangan serta kemajuan ilmu di berbagai bidang sehingga dapat diperoleh gambaran proses penemuan ilmu sejak xaman Yunani Kuno sampa xaman postmodern; 3. Mempertegas bahwa antara ilmu dan agama tidak ada pertentangan (Akhadiah dan Listyasari, 2011:113). Kiranya dapat dipahami tujuan filsafat ilmu yaitu memahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu serta sejarah tumbuh kembang ilmu.

Filsafat ilmu yang merupakan cabang filsafat menjadi hal wajar bilamana memiliki persamaan dan perbedaan. Martini Djamaris mengungkapkan persamaaan dan perbadaan filsafat dan filsafat ilmu, persamaannya: 

1. filsafat dan filsafat ilmu mencari rumusan yang sebaik-baiknya dalam melakukan penyelidikan objek telaahannya secara tuntas, selengkap-lengkapnya sampai ke akarakarnya;

 2. Filsafat dan filsafat ilmu memberikan pemahaman tentang hubungan atau koherensi antara kejadian-kejadian yang ada dan dialami manusia serta menunjukkan penyebabnya; 

3. Keduanya berusaha memberikan sintesis yaitu suatu pandangan yang saling berhubungan dan berkaitan; 

4. Keduanya mempunyai sistem dan metode penelaahan;

 5. Keduanya berusaha memberikan penjelasan tentang kenyataan secara menyeluruh yang timbul dari hasrat ingin manusia dan pengetahuan yang mendasarinya.

 Sedang perbedaanya: 1. Objek material filsafat bersifat universal yaitu segalasesuatu yang ada dalam realita, sedang objek filsafat ilmu bersifat khusus dan empiris. 2. Objek formal atau sudut pandang filsafat bersifat non-fragmentaris karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada secara luas, mendalam, dan mendasar, sedang ilmu bersifat fragmentaris, spesifik, dan intensif; 3. Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, pemikiran kritis, dan pengamatan, sedang ilmu menggunakan pendekatan riset (Akhadiah dan Listyasari, 2011:112). Kiranya dapat dipahami persamaan filsafat dan filsafat ilmu yaitu filsafat dan filsafat ilmu mencari rumusan yang terbaik dalam penelaahan, memberikan pemahaman tentang hubungan antara kejadian yang ada, memiliki sistem dan metode penelaahan, dan memberikan penjelasan secara menyeluruh. Sedang perbedaan filsafat dan filsafat ilmu yaitu objek material filsafat bersifat universal, sedang objek filsafat ilmu bersifat khusus dan empiris, objek formal filsafat bersifat non-fragmentaris, sedang ilmu bersifat fragmentaris dan spesifik, filsafat menonjolkan daya spekulasi, dan pemikiran kritis, sedang ilmu dengan pendekatan penelitian.

2. Ilmu dan Karakteristiknya 

                Menurut Edwin C. Kemble, ilmu adalah suatu kumpulan pengetahuan teratur dan teruji yang didasarkan pengamatan cermat. Senada dengan Louis Pasteur, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh pengamatan sistematis, percobaan, dan penalaran (Gie, 2012:73,75). Tidak jauh berbeda dengan Anshari, ilmu adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidiki sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental (Anshari, 1981:47,46). Sedang Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pengetahuan sain ialah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris (Tafsir, 2006:6). Berdasar pada pemikiran di atas dapat diartikan ilmu ialah kumpulan pengetahuan empiris yang disusun secara sisitematis yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan percobaan. 

Ilmu sebagai karya manusia memiliki karakteristik atau ciriciri tersendiri. The Liang Gie mengungkapkan lima ciri ilmu pengetahuan, yaitu:

a. Empiris: pengetahuan ini diperoleh berdasarkan pengalaman, pengamatan dan percobaab atau eksperimen.

 b. Sistematis: berbagai informasi dan data yang dihimpun sebagai pengetahuan itu mememiliki hubungan ketergantungan dan teratur. 

c. Obyektif: ilmu harus bebas dari prasangka orang perorangan dan interes pribadi.

 d. Analitis: pengeyahuan ilmiah selalu berusaha membeda-bedakan secara jelas dalam bagian-bagian rinci permasalahan, dengan maksud agar kita bisa melihat pelbagai sifat, relasi, dan peranan dari bagian-bagian itu.

 e. Verifikatif: pengetahuan ilmiah dapat diperiksa kebenarannya

Sedang A.G.M. van Melsen mengemukakan ciri dari suatu ilmu antara lain:

     a. Secara metodis ilmu pengtahuan harus mencapai suatu pemahaman atau keseluruhan yang koheren. Itu mengandaikan adanya suatu sisyem kerja (netode) dan juga adanya susunan logis

    . b. Ilmu harus hadir tanpa pamrih karena ini berkaitan erat dengan tanggung jawab ilmuwan.

     c. Ilmu pengetahuan bersifat universal (universalitas) 

    d. Obyektivitas: setiap ilmu dibimbing oleh obyek dan bukan didasarkan pada anggapan atau prasangka-prasangka subyektif.

     e. Ilmu harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah dalam kaitan dengan ilmu bersangkutan dan oleh karena itu ilmu bersifat intersubyektif dan dapat dikomunikasikan.

     f. Sikap maju (progresifitas): suatu jawaban ilmiah haruslah selalu mengundang jawaban dan penemuan-penemuan baru dan bisa menimbukan banyak permasalahan baru. Dengan demikian ilmu itu dinamis dan selalu berubah.

     g. Kritis yang berarti setiap teori selalu terbuka kemungkinan untuk dikriik berdasarkan penemuan-penemuan baru

    . h. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan hubungan timbal balik antara teori dan praktik (Kebung, 2011:69- 70). 

        Merujuk pada pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik atau ciri-ciri ilmu yaitu empiris, sistematis, objektif, analitis, verifikatif, progresif, kritis dan perwujudan timbal balik teori dan praktik.

3. Lingkup Kajian Ilmu

         Ilmu (ilmu pengetahua) yang merupakan hasil usaha atau hasil karya manusia, kini berkembang pesat dan menjadi salah satu senjata manusia guna memerangi / mengatasi permasalahanpermasalahan manusia yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan manusia penuh dengan kejadian dan lika-liku yang oleh paham fatalisme kejadian itu sebagai nasib yang telah ditentukan lebih dahulu, menjadi fenomena yang menarik untuk ditelaah lebih dalam; selain alam yang mengherankan. Langit yang tiada satupun pilar penyangga, disiang hari nampak matahari yang bercahaya menyinari bumi, kadang megapun menghias manis. Di malam hari bulan dan bintang menghias langit dan menerangi bumi. Bendabenda langit itu rapi bergerak dijalannya, tak ada yang benturan, bertabrakkan. Manakala kita melihat bumi, maka tampak gunung yang menjulang tinggi di tumbuhi pohon-pohon dan rerumputan, dihiasi sungai dengan penuh bebatuan yang airnya bermuara di lautan. Laut yang penuh gelombang menggulung, binatang laut yang beribu nama dan jenis, dan ikan yang sering menari-nari berlari menggoda nelayan di kapalnya, dan pada gilirannya ikan hasil tangkapannya diperjuabelikan di antara manusia. Manusia yang memiliki akal, berpikir, bersikap dan bertingkah laku. Manusia yang hidup dalam suatu dunia yang dipenuhi dengan barang-barang. Manusia yang bisa mencipta barang dan menghilangkannya. Manusia yang membutuhkan air, udara, dan api; dan manusia yang terdiri atas badan dan jiwa. Semua itu merupakan bahan kajian ilmu. Pendeknya alam dan manusia dengan segala unsurnya sepanjang pengalaman dan kemampuan indera manusia menjadi obyek atau lingkup kajian ilmu. Endang Saifuddin Anshari menulis : pada garis besarnya obyek ilmu pengetahuan ialah ilmu alam dan manusia (Anshari, 1981:48). Lingkup penjelajahan ilmu menjadi jelas tiada lain alam dan manusia. Alam yang tertib, rapi dan seimbang, alam yang penuh energi dan materi serta misteri, alam yang terhampar luas yang menurut Demokritos tersusun dari atom-atom, sangat menakjubkan manusia yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Sehingga manusia sebagai mahkluk yang mengaktualisasi diri mempunyai kebebasan berkehendak. Disinilah paham indeterminisme dijunjung tinggi. Sebaliknya paham determinisme mendukung tidak adanya kebebasan berkehendak bagi manusia. 

Dan paham probabilisme menjadi paham jalan tengah di antara paham determinisme dan indeterminisme. Alam dan manusia yang mengalami evolusi tidak lepas dari ruang dan waktu. Dengan kata lain alam dan manusia selalu terikat ruang dan waktu, ruang yang mewadahi dan ruang yang menyertai. Ruang dan waktu yang abstrak adanya, menurut Newton ruang dan waktu bersifat mutlak. Sedangkan menurut Einstein tidak ada ruang yang mutlak dan tidak ada waktu yang mutlak (Kattsoff, 2007:245, 253). Lepas dari perbedaan pandangan kedua tokoh di atas, ruang dan waktu merupakan kenyataan yang ada, ada di antara barang-barang yang ada; dan menjadi persemaian barang yang ada. Ruang dan waktu yang selalu ada diantara barang-barang yang ada, tidak berlaku untuk Tuhan (Tuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu). Tuhan merupakan prima causa dari segala yang ada, Tuhan yang trasenden dan immanen. Persoalan Tuhan bukan meteri kajian/bahasan ilmu, karena sudah di luar batas penjelajahan ilmu, seperti masalah sorga dan neraka, malaikat dan setan/iblis, semua itu bukan menjadi kapling pembahasan ilmu melainkan pembahasan agama yang didasarkan wahyu, dan filsafatpun membahasnya berdasar akal pikir. Wahyu yang datang dari Tuhan kebenarannya tidak perlu diragukan, dan tidak harus diuji, dibuktikan melalui pengalaman dan eksperimen. Kebenaran wahyu berkait dengan keyakinan hati dan iman manusia kepada Tuhan. Kebenaran wahyu pun rasional atau logis, kalaupun ada yang tidak logis atau tidak bisa diterima akal di antara isi wahyu disebabkan pemikiran manusialah yang belum mampu dan mencapai titik jawaban atau belum penemuan pemikiran atas isi wahyu yang tidak rasional atau tidak logis. Kebenaran wahyu berbeda dengan kebenaran ilmu, kebenaran ilmu harus diuji melalui pengalaman manusia, penelitian atau percobaan, dan manusia jugalah yang menemukannya. “Ilmu adalah usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hak ikhwal yang diselidiki sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran yang dibantu penginderaan manusia itu, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental” (Anshari, 1981:47,46). Pengalaman, kemampuan pemikiran dan indera manusia menjadi faktor penentu batas pengkajian ilmu, dengan kata lain objek kajian ilmu itu sebatas dunia empirik atau pengalaman indera. Dan kebenaran sebagai tujuan yang dicapai ilmu.

4. Sumber-sumber 

             Ilmu Sumber ilmu pengetahuan tidak berbeda dengan sumber pengetahuan, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan merupakan kumpulan pengetahuan. Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal). sedangkan empirisme berpendapat, bahwa empiris atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan. Baik pengalaman yang batiniah maupun yang lahiriah (Hadiwijono, 2010:18). Rasio (akal) dan pengalaman menjadi sumber pengetahuan. Manusia lewat rasio dan empirik dapat melahirkan dan memperoleh pengetahuann sebagai produk sebuah rangkaian penalaran. Selain rasio dan empriik sebagai sumber pengetahuan, intuisi dan wahyu menjadi sumber pengetahuan. Jujun S. Suriasumantri mengatakan bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan (Suriasumantri, 2010:44). Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan Yang Esa kepada manusia. sementara intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui penalaran tertentu dan pola berpikir tertentu. Bagi Maslow penalaran ini merupakan pengetahuan yang puncak, sedangkan bagi Nietzhe ntuisi merupakan intelegensi yang paling tinggi (Suriasumantri, 2010:53). Melalui wahyu dan intuisi manusia dapat memperoleh pengetahuan yang didapat sebagai pengetahuan produk nonanalitik yang tak punya pola tertentu, tetapi diakui suatu hal yang benar. Dengan demikian rasio, empirik, intuisi dan wahyu merupakan sumber pengetahuan, yang pada gilirannya dengan diramu atau diracik dengan metode ilmiah melahirkan pengetahuan ilmiah atau ilmu, dan itu merupakan suatu kenyataan yang ada yang tidak bisa dipungkiri. Dan bila diruntut asal muasal Tuhan adalah prima causa segala yang ada; Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan. 

5. Metodologi Ilmu

         Kebenaran menejadi titik tujuan ilmu pengetahuan. Untuk mencapai tujuannya tentu menggunakan cara dan menempuh prosedur tertentu, yang dinamakan metode ilmu atau metode ilmiah. Metode ilmiah ada dua macam, yaitu: 1. Metode ilmiah bersifat umum. Metode ini ada dua: metode analitiko – sintesa dan metode non - deduksi. 2. Metode penyelidikan ilmiah. Metode ini ada dua: metode siklus – empirik dan metode linier (Soemargono, 1983:10). Metode analitiko-sintesa maksudnya cara pengkajian sesuatu obyek (ilmiah) tertentu dengan menggunakan metode analisa dan metode sintesa secara silih berganti atau bersama-sama. Sedangkan metode non-deduksi merupakan cara pengkajian sesuatu obyek (ilmiah) tertentu dengan menggunakan metode deduksi dan metode induksi secara silih berganti atau bersama-sama. Metode analisa ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milahkan antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain untuk memperoleh kejelasan mengenai halnya. Metode sintesa ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek ilmiah tertentu dengan jalan menggabung-gabungkan pengertian yang satu dengan pengertian yang lain, untuk memperoleh pengetahuan yang baru.

            Sementara metode deduksi ialah cara penanganan sesuatu obyek ilmiah dengan jalan pertama-tama menetapkan sesuatu ketentuan umum dan kemudian berdasarkan atas ketentuan umum tadi menarik kesimpulan-kesimpulan khusus mengenai barang sesuatu atau sesuatu kasus tertentu. Dan metode induksi ialah cara penanganan terhadap sesuatu obyek ilmiah tertentu yang dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal atau kasus-kasus yang sejenis, kemuudian menarik sesuatu kesimpulan yang bersifat umum. Keempat metode bo1eh dikata selalu digunakan dalam setiap aktifitas ilmiah, baik diterapkan secara sendiri dan silih berganti atau bersama-sama, dengan mempertimbangkan bahanbahan penelitian dalam penetapan metode. Metode analisa metode yang memilah-milah, dan metode sintesa metode yang menggabunggabungkan dapat diterapkan pada bahan-bahan yang bersifat apriori dan yang aposteriori. Juga metode deduksi dan induksi dapat diterapkan pada bahan-bahan yang bersifat kealaman dan kejiwaan/ kerohanian. Dengan perkataan lain metode analisa, sintesa, deduktif dan induktif yang merupakan metode ilmiah tak pernah berhenti dalam aktifitas menuju pencapaian pengetahuan ilmiah atau ilmu

        Metode siklus-empirik ialah cara penanganan dalam penyelidikan ilmiah terhadap obyek ilmiah yang bersifat empirik dan yang prosesnya mengambil bentuk lingkaran atau perulanganperulangan. Dan metode linier ialah cara penanganan dalam penyelidikan ilmiah terhadap obyek ilmiah yang bersifat kejiwaan/kerohanian yang prosesnya mengambil bentuk garis lurus secara bertahap. Di antara metode siklus-empirik dan metode linier tampak ada perbedaan dalam penerapan, metode siklus-empirik penerapannya dilingkungan ilmu yang bersifat kealaman, sedang metode linier penerapannya dilingkungan ilmu yang bersifat kejiwaan/ kerohanian. Penerapan metode ilmiah di atas tidaklah bersifat mutlak, hanya untuk memudahkan dalam mengambil titik awal penelitian atau pengkajian, dengan bahan-bahan penelitian menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan metode ilmiah. Pada dasarnya metode ilmiah itu sama bagi semua disiplin ilmu, baik dilingkungan ilmu alam atau dilingkungan ilmu sosial/ilmu kemanusiaan. Jujun S. Suriasumantri menulis: Metode ilmiah pada dasarnya adalah sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila terdapat perbedaan dalam kedua kelompok keilmuan ini maka perbedaan tersebut sekadar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya. 'Teknis pengumpulan data mengenai gejala gunung berapi jelas akan berbeda dengan teknik pengumpulan data tentang sikap kaum remaja mengenai keluarga berencana. Demikian juga teknik pengamatan bintang-bintang di langit akan berbeda dengan teknik pengamatan anak taman kanakkanak yang sedang belajar mengeja (Suriasumantri, 2010:132). Dengan demikian jelas bahwa tidak ada perbedaan untuk penerapan metode ilmiah dalam penelitian atau pengkajian ilmiah, baik dalam kelompok ilmu alam ataupun dalam kelompok ilmu sosial/ilmu kemanusiaan; hanya berbeda dalam penggunaan teknik-tekniknya yang dikaitkan dengan bahan atau obyek penelitian ilmiah.

        Menurut The Liang Gie, teknik adalah sesuatu cara operasional yang seringkali bercorak rutin, mekanis atau spesialistis untuk memperoleh dan menangani data dalam penelitian. Sedang metode ilmiah adalah berbagai prosedur yang mewujudkan polapola dan tata langkah dalam pelaksanaan sesuatu penelitian ilmiah (Gie, 2012:58). Jadi dapat dimengerti bahwa teknik yang merupakan cara operasional dan spesialis menjadi bagian daripada metode ilmiah yang memiliki pola pola dan langkah-langkah tertentu dalam rangka penemuan ilmu. Langkah-langkah yang cukup umum dalam metode ilmiah, yaitu: penentuan masalah, perumusan hipotesis, 

pengumpulan data, penurunan kesimpulan, dan verifikasi hasil (Gie, 2012:54). Langkah-langkah di atas merupakan langkah minimal yang harus ada, dan menjadi pola yang cukup umum dalam proses penemuan pengetahuan ilmiah. Dan langkah ini tidak menutup kemungkinan terhadap masuknya langkah tambahan dari yang telah ada.

Ada langkah atau pola lain yang tidak banyak berbeda, langkah ini merupakan langkah dalam metode ilmiah yang berintikan proses logico-hypotheticoverifikasi, yaitu: 

a. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batas serta dapat diidentifikasi faktor-faktor terikat di dalamnya; 

b. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan;

 c. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan;

 d. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak;

 e. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis, yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan  secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya (Suriasumantri, 2010:128). Kelima langkah di atas merupakan langkah pokok, yang masih membuka pintu kemungkinan berkembangnya langkah atau pola variasi yang relevan yang menjadi pendukung dan penjelas. Maka boleh dikata belum ada kesamaan langkah/pola pasti pada metode ilmiah. Tata langkah atau pola dalam metode ilmiah meskipun “belum ada kepastian mengenai jumlah, bentuk dan urutan langkah” (Gie, 2012:54). Namun pola itu merupakan ide, konsep dan ungkapan pikiran teratur serta sarana menuju penemuan pengetahuan ilmiah dan kebenaran (ilmiah). Metode ilmiah beserta tekniknya yang relevan menjadi tuntutan dalam rangka pencapaian pengetahuan ilmiah, bila tanpa adanya metode ilmiah maka sulit pengetahuan ilmiah yang disebutnya ilmu akan ditemukan, karena metode ilmiah merupakan jalan yang harus dilalui dengan memperhatikan teknik-teknik yang relevan. Bila tanpa adanya relevansi teknik dengan bidang kajian maka hasilnya akan berbeda, bahkan tak menurup kemungkinan kesalahan yang ditemukan. Dengan kata lain bidang kajianlah yang yang membedakan penggunaan teknik-teknik yang ada dalam metode ilmiah. Semisal penggunaan teknik pengumpulan data tentang kenakalan remaja atau orang tua dalam bidang seksual akan berbeda dengan teknik pengumpulan data tentang ragam batuan di lereng gunung. Sementara metode ilmiahnya tak ada perbedaan; dengan langkah-langkah pokoknya: perumusan masalah, penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan. Langkah-langkah dalam metode ilmiah itu jangan ditafsirkan secara mati, tetapi suatu konsep dinamis yang menekankan logika berpikir dan alur-alur pemikiran benar, sehingga tumbuh kembangnya pola pemikiran kaku akan terkikis. Pola pemikiran dinamis dan optimis menjadi pupuk tumbuh suburnya pohonpohon ilmu. Ilmu yang kini berjalan cepat karena partisipasinya metode ilmiah yang cukup besar, di samping sumbangsih aspekaspek lain, seperti sosial (yang melakukan komunikasi ilmiah). Kendatipun metode ilmiah pantas mendapat gelar bintang pengembang ilmu, namun untuk tidak menimbulkan kecongkakan metode ilmiah kiranya perlu ingat kembali perkataan Leonard Nashbahwa terdapat bahaya yang potensial mengintai di balik mitos yang bernama metode: yakni bahwa ilmuwan akan memperlakukannya secara terlalu bersungguh-sungguh! (Suriasumantri, 2010:133). Potensi bahaya ada di mana-mana, kita tidak bisa lepas dari intaian bahaya, tapi kita pun harus sebaliknya terus mengintai munculnya bahaya itu, kemudian bahaya itu kita rubah menjadi sesuatu yang melahirkan kegunaan dan memiliki fungsi bagi hidup manusia. Potensi bahaya itu harus ada dalam kendali manusia dan jangan sampai menggilasnya.

6. Sarana Berpikir Ilmiah

         Menurut Jujun S. Suriasumantri, untuk melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk mencapaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya, ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Metematiaka mempunyai peranan yang penting dalam berpikir deduktif sedang statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif (Suriasumantri, 2010:167). Hal senada dikatakan Konrad Kebung: kita temukan paling kurang tiga sarana berpikir ilmiah:

     a. Bahasa ilmiah: berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan seluruh cara berpikir dan proses kerja ilmiah. Karena itu bahasa memgang peran amat penting dalam bidang i lmu pengetahuan. Secara umum bahasa mengungkapkan keunikan manusia dan bukannya pada kemampuan berpikirnya (Ernest Cassirrer). Sebab itu manusia dilihat sebagai ens symbolicum, yakni makhluk yang menggunakan simbol.

     b. Logika dan matematika memiliki perang amat penting dalam cra berpikir deduktif. Matematiaka memegang peran penting dan dan dilihat sebagai kegemilangan intelektual. Ia justru memberi daya kuasa melalui bahasa, proses dan teori yang memberikan ilmu suatu bentuk dan kuasa. Penghitungan matematis menjadi dasar desain ilmu teknik, metode matematis memberi inspirasi kepada pemikiran-pemikiran dalam bidang sosial dan ekonomi, kegiatan arsitektur dan seni lukis. Logika dan matematika menggunakan bahasa artifisial.

     c. Logika dan statistik memiliki peran penting dalam pemikiran induktif untuk mencari konsep-konsep yang berlaku umum. Statistik pada mulanya dimengerti sebagai himpunan keterangan (data) baik yang berwujud angka (kuantitatif) maupun yang tidak berwujud angka (data kualitatif) yang memiliki arti penting bagi negara. Namun dalam perkembangan selanjutnya arti kata statistik hanya dibatasi pada data kuantutatif saja. Statistik berarti suatu keadaan yang tetap (Kebung, 2011:103). Sarana berpikir ilmiah, sarana yang mengantarkan manusia untuk beraktifitas dan merekayasa dalam menghasilkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Sarana-sarananya yaitu bahasa, logika, matematika dan statistika.

7. Fungsi Ilmu

 Manusia yang pencari ilmu dan mendambakan penguasaan atas ilmu yang telah dicari, tentulah mereka itu memiliki asumsi bahwa ilmu itu berharga dan berfungsi/berguna bagi dirinya atau pun manusia lain dalam mengarungi hidup dan kehidupan.

         R.B.S. Fudyartanta menyebutkan ada empat macam fungsi ilmu pengetahuan, yaitu :

     a. Fungsi deskriptif : megambarkan, melukiskan dan memaparkan obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari peneliti; 

    b. Fungsi pengembangan: melanjutkan hasil penemuan yang lalu dan menemukan hasil ilmu pengetahuan yang baru; 

     c. Fungsi prediksi: meramalkan kejadian, kejadian yang besar kemungkinan terjadi sehingga manusia dapat mengambil tindakan-tindakan yang perlu dalam usaha menghadapinya; 

    d. Fungsi kontrol: berusaha mengendalikan peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.

     Sedang Endang Saifuddin Anshari mengungkapkan bahwa fungsi ilmu pengetahuan ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di dalam pelbagai bidangnya (Anshari, 1981:57). Adapun Dr. Mahdi Ghulsyani mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan berguna dalam usaha menyingkap suatu kesatuan komprehensif di dalam hukum-hukum alam. Imam 'Ali mengatakan : “Iman itu maju melalui ilmu” (Ghulsyani, 1986:60,75). Kiranya dapat dipahami bahwa fungsi ilmu yaitu fungsi dekriptif, pengembangan, prediksi, kontrol, dan memenuhi kebutuhan hidup manusia dipelbagai kehidupan manusia

        Ilmu memberi sumbangsih kegunaan terhadap dunia ilmu itu sendiri, lingkungan alam dan kehidupan manusia serta rasa imaniah manusia dengan Tuhan. Di dunia ilmu, ilmu memberikan gambaran dan paparan dunia ilmu yang kaya obyek, dan hendak memudahkan kajian pencari ilmu. Ilmu menjadi dasar acuan dalam rangka menumbuh-kembangkan hasil ilmu yang lalu dan penemuan ilmu baru. Di lingkungan alam dan kehidupan manusia, ilmu berfungsi menjadi sarana penyingkap rahasia-rahasia alam beserta hukumhukumnya yang menakjubkan. Ilmu menjadi sarana pembeda mana yang benar dan yang tidak benar dengan jelas, sehingga manusia mampu memahami dan menilai suatu kebenaran dan ketidakbenaran. Dengan ilmu manusia mampu mcmprediksi kejadian yang hendak terjadi dan sekaligus mengambil sikap dan jalan keluar terbaik dalam menghadapi kejadian itu; juga manusia akan mampu mengendalikan suatu kejadian yang tidak diinginkan dengan bekal ilmu. Di samping ilmu berguna menjadi alat pemenuhan kebutuhan hidup manusia di segala bidang yang menjadi kebutuhan manusia dalam hidup dan kehidupan. 

        Di dunia imaniah manusia dengan Tuhan, ilmu berguna memajukan, meningkatkan keyakinan, kepercayaan kepada Tuhan, dan menghindari lumpuh. Albert Einstein berkata bahwa ilmu tanpa agama buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh (Suriasumantri, 2012:3) Jelas kiranya bahwa ilmu mempunyai peran penting dalam peningkatan imaniah manusia kepada Tuhan. Di samping ilmu menjadi sarana pembebasan takhayul, dan penghilang harum dupa dan asap kemenyan yang menari-nari merusak iman agama manusia. Agama tanpa ilmu akan lumpuh, berjalan tertatih-tatih menuju dan menggapai titik kebenaran Tuhan Yang Maha Besar.

   8. Nilai Kebenaran

         Ilmu Jean Paul Sartre mengemukakan: Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu hal yang sudah selesai terpikirkan, sesuatu yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh hasil-hasil penelitian dan percobaan-percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode baru atau karena adanya perlengkapanperlengkapan yang lebih sempurna. Tidak jauh berbeda, Harsojo mengungkapkan bahwa kebenaran ilmiah itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya diketahui. Dan Abdullah bin Nuh berpendapat : “Sebetulnya tidak ada suatu kebenaran ilmiah dalam arti yang mutlak” (Anshari, 1981: 64,65). Jelas kiranya bahwa nilai kebenaran ilmu (pengetahuan ilmiah) tidaklah mutlak karena akan selalu dimungkinkan disisihkan atau digugurkan oleh teori-teori produk penelitian dan penemuan baru yang menolaknya. Di samping tidak bermaksud mencapai kebenaran mutlak atas nilai kebenaran ilmu itu sendiri.

    Kebenaran ilmu tidaklah final sifatnya, nilai kebenaran ilmu hanyalah relative, dalam arti suatu hipotesis, suatu teori dapat diterima kebenaran-kebenarannya selama tidak didapatkan fakta atau ilmu (baru) yang menolak hipotesis atau ilmu (lama) yang telah diterima sebagai suatu kebenaran. Hipotesis atau ilmu yang sampai saat ini tidak ditolak kebenarannya berarti tetap benar keberadaannya. Tetapi bila dikemudian hari ternyata tidak benar maka hipotesis atau ilmu (yang ditolak) tak perlu dibuang ke jurang terjal di hutan belantara, tapi diberi saja salam: selamat tinggal sahabat, aku hendak mencari kebenaran, aku akan mencari Tuhan Sang Sumber Kebenaran.

    9. Netralitas Ilmu 

    Ilmu yang merupakan hasil karya manusia diperdebatkan tentang netralitas nilainya, apakah ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai. Ali Mukti menyatakan sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain itu tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu. Sementara Herman Soewardi berpandangan: sain formal itu netral karena ia berada di kepala kita dan ia diatur oleh hukum-hukum logika. Adapun sain empirika tidak netral karena dibangun oleh pakar berdasarkan paradigma yang menjadi pijakannya (Tafsir, 2006:45,50). Bebas nilai atau tidaknya ilmu kiranya tidak mudah untuk bisa menentukannya hanya melihat dari satu kacamata semata, untuk itu perlu melihat baik dari kacamata epistemologi, aksiologi dan kacamata ontologinya. 

Ilmu yang telah dihasilkan penemunya, bila melihat dari epistemologi, ilmu tidak bisa lepas dari paradigma sebagai pijakan yang digunakan penemunya apa pijakan itu berdasar pada religilmu tidak bebas nilai. Begitu pula bila melihat dari sudut aksiologi, jelas kiranya ilmu tidak bebas nilai karena ilmu itu untuk apa digunakan. Adapun bila dilihat dari sudut ontologi, ilmu yang hidup dan berkembang dalam lingkaran, dan tidak ke luar dari lingkaran dunia ilmu, atau ilmu untuk ilmu maka ilmu bebas nilai berada di titik nol.

     Lepas dari ilmu itu bebas nilai atau terikat nilai, ilmu tidak mampu menembus dinding tebal hakikat keberadaanya sendiri, dan ilmu akan meminta bantuan dan solusi pada filsafat ilmu. Filsafat ilmu akan selalu menolong membuka tabir-tabir gelap yang dihadapi ilmu dan tak pernah terkuak oleh ilmu sampai memperoleh pencerahan dan menemukan titik terang makna hakikat ilmu. Filsafat ilmu menjadi rujukan ilmu-ilmu yang tak pernah mengerti hakikat eksistensinya sendiri.

 Simpulan 

Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang membahas/mengkaji hakikat ilmu. Tujuan filsafat ilmu yaitu memahami sumber, hakikat, dan tujuan ilmu serta sejarah tumbuh kembang ilmu. Adapun landasan filsafat ilmu dalam menjawab problemanya dengan menggunakan landasan ontologi, landasan epstemilogi, dan landasan aksiologi. Ilmu ialah kumpulan pengetahuan empiris yang disusun secara sisitematis yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan percobaan. Karakteristik ilmu yaitu empiris, sistematis, obyektif, analitis, verifikatif, progresif, kritis, dan perwujudan hubungan timbal balik teori dan praktik. Sedang obyek ilmu adalah alam dan manusia. Sarana berpikir ilmiah berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Sedang sumber ilmu ialah rasio, empiri, intuisi dan wahyu. Adapun metode yang digunakan memperoleh ilmu yaitu: metode analitika-sintesa, metode non-deduksi, metode siklus empirik, dan metode linier. Dan langkah-langkah yang umum dalam metode ilmiah yaitu: Penentuan masalah, perumusan masalah, perumusan hipotesis, pengumpulan data, dan verifikasi hasil. Ilmu memiliki fungsi: fungsi deskriptif, prediksi, pengembangan, dan kontrol. Selain itu fungsi ilmu ialah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di berbagai bidang. Sedangkan nilai kebenaran ilmu itu tidak mutlak atau bersifat relatif. Adapaun secara ontologi ilmu itu bebas nilai, sedang secara aksiologi ilmu itu terikat nilai. Filsafat ilmu menjadi idola bagi ilmu-ilmu di masa datang karena dengan murah hati dan senyum manis selalu mencoba memenuhi permintaan ilmu untuk mencari jawab diwaktu ilmu tidak mampu mengatasi problema yang dihadapi dalam menemukan hakikat ilmu

Daftar Pustaka

 Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi Listyasari (Ed). 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana. Anshari, Endang Saifuddin. 1981. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu. Beerling, et al. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu. Alih Bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ghulsyani, Mahdi. 1986. Filsafat Sains Menurut Al Qur’an. Penerjemah Agus Effendi. Bandung: Mizan. Gie, The Liang. 2012. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty Hadiwijoyono, Harun. 2010. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Karnisius. Kattsoff, Louis O. 2007. Pengantar Filsafat. Alih Bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta : Tiara Wacana. Kebung, Konrad. 2011. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Poedjawaijatna, I.R. 1980. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT. Pembangunan. Ravertz, Jerome R. 2004. Filsafat Ilmu: Sejarah & Ruang Lingkup Bahasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Soemargono, Soejono. 1983. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Nur Cahaya. Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan. Suriasumantri, Jujun S. 2012. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta: Obor Indonesia. Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Rosdakarya.


Rabu, 16 Juni 2021

                                                                    ILMU FISFAT 

                                                AKHLAK

                                                         Rahmad Romadon srg

                                                romadonrahmad64@gmail.com

                             PENDIDIKAN AGAMA ISLAM                                     FAKULTAS TARBIYAH

                                    DAN ILMU KEGURUAN

                                   IAIN PADANG SIDIMPUAN

                                                Abstrak 

Dalam konteks pemikiran etika modern, filsafat akhlak menempati posisi yang penting. Filsafat akhlak akan membentuk keadaan jiwa yang dapat melahirkan perbuatan-perbuatan baik. Di era modern ini, masih sedikit yang menyelidiki filsafat akhlak, karena mereka telah merasa puas mengambil akhlak dari agama dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar baik dan buruk. Padahal sesungguhnya filsafat akhlak tertuju pada pandangan ke arah perbaikan dalam menentukan hak dan kewajiban, serta menimbulkan perasaan perseorangan tentang tanggungjawab besar untuk diri sendiri, masyarakat dan kepada Tuhan. Kata Kunci: Akhlak, filsafat Abstract In the context of modern ethical thinking, philosophy of Akhlak occupies an important role. Philosophy of Akhlak will form a state of the soul that can bring a person to good deeds. In this modern era, there are still a few researcers who research the philosophy of akhlak, because they have been satisfied with akhlak from religion and do not feel the need for scientific research on the basis of good and bad. In fact, moral philosophy is focused on the view toward improvement in determining the rights and obligations, and generate personal feelings about the great responsibility for self, society and God. Keyword: Akhlak, Philosophy

PENDAHULUAN 

Perbuatan manusia ada yang baik dan ada yang buruk. Kadang sebuah perbuatan dianggap baik oleh seseorang , namun dianggap buruk oleh orang yang berbeda. Untungnya manusia memiliki akal dan perasaan untuk dapat memilah perbuatan itu baik atau buruk. Pada dasarnya penilaian terhadap suatu perbuatan adalah relatif, hal ini disebabkan adanya perbedaan tolok ukur yang digunakan untuk penilaian tersebut. Perbedaan tolok ukur tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan agama, kepercayaan, cara berpikir, ideologi, lingkungan hidup dan sebagainya. Perbuatan manusia adalah hasil dari suatu proses psikologi yang banyak seluk beluknya. Perbuatan tersebut merupakan kolaborasi antara intelek dan kehendak. Apabila intelek mengerti sebagai sesuatu yang baik, maka muncullah dalam kehendak, rasa senang pada sesuatu tersebut.Tidak ada aktifitas yang mungkin kecuali dengan maksud kearah suatu tujuan, demi sesuatu yang baik. Dalam beberapa kasus, perbuatan dianggap baik atau buruk hanya karena seseorang yang berkuasa telah memerintahkannya atau melarangnya. Tetapi terdapat perbuatan lain yang mempunyai moralitas menurut hakikatnya perbuatan-perbuatan tersebut baik atau buruk, dan tiada adat kebiasaan, hukum manusiawi atau bahkan dekrit Tuhan, dapat membuatnya lain. (Poespoprodjo: 1999; 131). Pada hakikatnya akhlak bukanlah perbuatan, melainkan gambaran bagi jiwa yang tersembunyi. Oleh karenanya dapatlah disebutkan bahwa “akhlak itu adalah nafsiah (bersifat kejiwaan) atau maknawiyah (sesuatu yang abstrak) dan bentuknya kelihatan; kita namakan muamalah (tindakan) atau suluk (perilaku), maka akhlak adalah sumber dan perilaku adalah bentuknya. (Mustofa: 2005; 53). Kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang dialami oleh manusia sekarang ini, tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya; baik ia sebagai manusia yang beragama maupun sebagai makhluk individu dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap 

ehidupan manusia atas kemajuan yang dialaminya, ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidupnya adalah nilai material. Sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia. Pokok bahasan dalam tulisan ini adalah tentang akhlak dan mistisime Islam, filsafat akhlak dalam konteks pemikiran etika modern dan bagaimana signifikansi mistisisme Islam dan kemanusian dalam tinjauan ke masa depan PEMBAHASAN Akhlak dan Mistisisme Islam (Tasawuf) Menurut bahasa (etimologi) akhlak ialah bentuk jamak dari khuluk (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabi’at. Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriyah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh.Dalam bahasa Yunani pengertian khuluq ini disamakan dengan kata ethicos atau ethos, artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicos kemudian berubah menjadi etika. (A. Nasir: 1991; 14). Jamil Saleba mendefinisikan akhlak menurut istilah adalah suatu pembawaan yang melahirkan perbuatan dari jiwa tanpa didahului pertimbangan pemikiran yang terbebani (Saleba: t.th; 19). Dilihat dari sudut istilah (terminologi), para ahli berbeda pendapat, namun intinya sama yaitu tentang perilaku manusia. Pendapat-pendapat para ahli tersebut dihimpun sebagai berikut: 1. Abdul Hamid mengatakan akhlak ialah ilmu tentang keutamaan yang harus dilakukan dengan cara mengikutinya sehingga jiwanya terisi dengan kebaikan dan tentang keburukan yang harus dihindarinya sehingga jiwanya kosong (bersih) dari segala bentuk keburukan. 2. Ibrahim Anis mengatakan akhlak ialah ilmu yang obyeknya membahas nilai-nilai yang berkaitan dengan perbuatan manusia, dapat disifatkan dengan baik dan buruknya. 3. Soegarda Poerbakawatja mengatakan akhlak ialah budi pekerti, 4 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 watak, kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia. 4. Imam Al-Ghazali mengatakan akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. 5. Ibnu Maskawaih mendefinisikan akhlak sebagai suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia yang berbuat dengan mudah, tanpa melalui proses pemikiran atau pertimbangan (kebiasaan sehari-hari). (Abdullah: 2007; 4). Jadi pada hakikatnya khuluk (budi pekerti) atau akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Dari sini timbullah berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pikiran. Dapat dirumuskan bahwa akhlak ialah ilmu yang mengajarkan manusia berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat dalam pergaulannya dengan Tuhan, manusia dan makhluk sekelilingnya. (Asmaran: 2002; 1). Mistisisme Islam (Tasawuf) Secara harfiah mistisisme (mysticism) berarti sesuatu yang misterius (something mysterious). Disebut mistisisme karena pangalaman rohani (pengalaman mistik) adalah pengalaman yang misterius yang sulit dipahami oleh orang yang tidak mengalaminya. (Jumantoro: 2005; 145). Mistisisme adalah pergulatan diri mencari cahaya, petunjuk, jalan, dan upaya untuk menyatu dengan Tuhan. Mistisisme merupakan jalan membuka alam gaib, yang tidak setiap orang mampu menempuhnya.Untuk dapat mencapai kesempurnaan dalam laku mistik, seseorang harus dapat melewati tangga-tanga berjenjang menuju penyatuan diri dengan Tuhan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan syariat (hidup dengan pranata agama), tarekat (hidup dengan menyandarkan diri pada syariat), hakikat (perjumpaan diri dengan kebenaran) dan makrifat (penyatuan diri dengan Tuhan).Tangga-tangga penghampiran diri dengan Tuhan seperti di atas, harus dilewati dan dilakoni oleh setiap orang yang menjalani laku mistik. 5 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) Untuk dapat merangkak dari maqam (tangga) terbawah ke maqam di atasnya bukanlah perkara yang sederhana karena orang yang menjalani lauk mistik harus bisa menyingkirkan dan menepis nafsu-nafsu lahiriyah. Hal ini dilakukan misalnya dengan nyepi (khalwat), zikir, puasa, jalan kaki ribuan kilometer tanpa bekal dan semacamnya. Dalam menjalankan laku batin seperti ini, jika lembaran batin seseorang belum kuat, bisa berakibat fatal, seperti gila (jadzah). (Zaehner: 2004; 2). Mistisisme ada dalam setiap agama atau kepercayaan apapun dan berkembang dalam masyarakat. Mistik memilki sifat dasar toleran, melihat kebenaran semua agama, karena kalau agama diperbincangkan dari sisi manifestasi luar maka di situ hanya akan terdapat kebenaran tunggal, padahal esensinya sangat luas sehingga tak terkatakan. Ini, setidaknya, benar pada satu jenis mistisisme, dan kurang tepat bagi suatu jens teistik tertentu. Sebagaimana kita lihat dalam konsekwensinya. Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientalis Barat disebut sufisme. Kata sufismedalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam.Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam agama-agama lain. (Nasution: 1995; 56). Mistisismi Islam (Tasawuf) berasal dari kata sufi. Secara etimologi, ada beberapa pendapat mengenai asal usul kata sufi. Ada yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata Shafa, artinya suci, bersih dan murni. Syaikh Al-Haddad seorang tokoh tarekat Allawiyah mendefinisikan sufi “(sufi) yaitu siapa yang bersih hatinya dari kotoran dan hatinya penuh dengan hikmah serta merasa cukup dengan Allah dari pada makhlukmakhluk-Nya, dan (dengan sikap ini) baginya nilai emas dan tanah (lempeng) terlihat sama.” Pendapat lain mengatakan bahwa sufi berasal dari kata shaf, artinya baris. Orang sufi memang selalu berada pada shaf pertama ketika salat untuk mendapat rahmat Allah. (Vahuddin: 1993; 1). Adapula yang mengatakan bahwa sufi berasal dari kata shuffah, artinya serambi masjid. Orang sufi memang dulunya adalah sekelompok sahabat Nabi Muhammad Saw yang gemar melakukan ibadah dan mereka tinggal di serambi masjid Nabawi. (Ali: 1987; 3-5). Para ahli berselisih tentang asal kata tasawuf, sebagian mengatakan 6 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 berasal dari “Shuffah” artinya emper masjid Nabawi yang di diami oleh sebagian sahabat Anshar. Adapula yang mengatakan berasal dari kata “Shafa” artinya bersih/jernih, dan masih ada lagi yang mengatakan berasal dari kata “Shufanah” sebutan kata kayu bertahan tumbuh di padang pasir, terakhir ada yang mengatakan berasal dari kata Yunani “Theosofi” aritnya ilmu keTuhanan. (Syukur: 2002; 11). Pendapat lain mengatakan bahwa, kata tasawwuf berasal dari istilah Arab Shuff (wol), sejenis pakaian tenunan kasar yang menjadi cirri utama kalangan asketik masa awal, yang cenderung kepada kesederhanaan simbolik daripada kemewahan dan materi yang berlebihan. (Glasse: 2002; 369). Sementara sarjana Eropa berpendapat bahwa sufi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Sophos yang berarti kebijaksanaan, akan tetapi Ibrahim Basyumi menolak dengan mengatakan bahwa huruf Sigma Yunani disamakan dengan Sin Arab pada semua kalimat Yunani yang diarabkan, bukan huruf Sad. Jadi kalau kata sufi berasal dari kata Yunani, maka mencantumkan huruf Sad pada awalnya ini tidak sesuai dengan ketentuan seharusnya. (Munahen; t.th; 11- 12). Filsafat Akhlak dalam Konteks Pemikiran Etika Modern Akhlak dan Etika Dari beberapa pengertian tentang akhlak, maka dapat dimengerti bahwa akhlak adalah tabiat atau jiwa seseorang yakni keadaan jiwa yang terlatih sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikirkan dan diangan-angan lagi. Ada istilah lain yang lazim dipergunakan di samping kata akhlak, yakni etika. Perkataan itu berasal dari bahasa Yunani “Ethos” yang berarti adat kebiasaan. Dalam Webster New World College Dictionary disebutkan bahwa etika dalam bahasa Inggrisnya adalah ethic yang mempunyai dua arti yakni “a system of moral standards or values” (sebuah system dan standar moral atau nilai) dan “a particular standars of values” sebagai bagian dari standar nilai). (Neuveld: 1995; 466).Dalam pelajaran filsafat, etika adalah merupakan bagian dari padanya, dimana para ahli memberikan ta’rif dalam redaksi yang 7 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) berbeda-beda, antara lain berbunyi: (a) Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia prinsip-prinsip yang disistimatisir tentang tindakan moral yang betul. (b) Bagian filsafat yang memperkembangkan teori tentang tindakan: hujjah-hujjah dan tujuan yang diarahkan kepada makna tindakan. (c) Ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta tetapi tentang nilai-nilai. Tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya, karena itu bukan ilmu yang positif tetapi ilmu yang formatif. (d) Ilmu tentang moral/prinsip kaidah-kaidah moral tentang tindakan dan kelakuan. Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, maka pengertian etika menurut filsafat adalah: “Ilmu yang menyelidiki, mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran”. (Mustofa: 2004; 15). Ada yang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak. Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik dan buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan falsafah manusia ialah mendapat ideal yang sama bagi seluruh manusia disetiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Akan tetapi dalam mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran yang berlainan dan sifatnya relative, setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri. Adapun secara istilah, pengertian etika tampak berbeda dengan akhlak. Etika membicarakan perilaku manusia (kebiasaan) ditinjau dari baik-buruk, atau teori tentang perbuatan manusia ditinjau dari nilai baik-buruknya. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa etika merupakan bidang garapan filsafat, dengan moralitas sebagai objek meterialnya.Jadi, studi kritis terhadap moralitas itulah yang merupakan wilayah etika. Meski demikian harus tetap dikatakan bahwa dari segi sumbernya keduanya berbeda. Etika bersumber dari pemikiran manusia terutama filsafat Yunani, sedangkan ilmu akhlak, meski juga merupakan hasil pemikiran, tetapi ia bersumber dari wahyu yakni al-Qur’an dan al-Hadis. Dengan kata lain, meski sejumlah penulis muslim sering menggunakan istilah etika dalam mengungkapkan perkataan ilmu akhlak, namun sama sekali tidak berarti bahwa sumber pokok keduanya sama. Barangkali kalau ada beberapa ahli yang 8 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 tidak membedakan dua istilah itu, sangat boleh jadi karena mereka melihat betapa pengembangan ilmu akhlak masa sekarang banyak ditunjang oleh analisis filsafat. Dengan demikian—dalam batas tertentu—dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak bersumber pokok pada wahyu, hanya pengebangannya dilakukan dengan menggunakan filsafat sebagai sarananya; sedangkan etika semata-mata bersumber dari filsafat, tidak terkait dengan wahyu. Filsafat Akhlak di Era Modern. Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul di kalangan murid Pytagoras. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama 200 tahun.Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas.Mereka penganut ajaran reinkarnasi.Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, maka manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan rohani. Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagianbagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik. Socrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisantulisn Plato. Dalam dialog-dialog Plato hampir selalu Socrates yang menjadi pembicaraan utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Socrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi anggapan sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraianuraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiranpikiran Plato tentang hidup yang baik. Intuisi dari Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di barat selama 2000 9 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; di antaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim. Di sinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat Yunani dengan pemikir Muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat Yunani sehingga memengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika. Sebagai yang kita ketahui bahwa bangsa Arab masih sedikit yang menyelidiki akhlak berdasar ilmu pengetahuan karena mereka telah merasa puas mengambil akhlak dari agama dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar baik dan buruk. Agama menjadi dasar buku-buku akhlak, seperti yang kita lihat dalam buku karangan Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Orang Arab yang melakukan penyelidikan tentang akhlak dengan dasar ilmu pengetahuan ialah Abu Nasr Al-farabi, Ikhwanus Sofa dan Abu Ali Ibnu Sina. Mereka telah mempelajari filsafat-filsafat Yunani, terutama pendapatpendapat bangsa Arab yang terbesar mengenai Akhlak ialah Ibnu Maskawaih yang menyusun kitabnya yang terkenal (tahzibul akhlak wa tathirul a’raaq). Dia telah memadukan ajaran Plato, Aristoteles, Gallinus, dengan ajaranajaran Islam. Pada abad pertengahan ke 15 mulailah ahli-ahli pengetahuan menghidupsuburkan filsafat Yunani Kuno, yang kemudian juga berkembang diseluruh Eropa. Pada wal difungsikan sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan berpikir dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru. Di antara yang mendapat kecaman dan penyelidikan ialah persoalan akhlak yang dibawa oleh bangsa Yunani dan bangsa-bangsa lain. Ahli-ahli pengetahuan baru mengecam dan memperluas penyelidikannya dengan pertolongan dari ilmu pengetahuan lain yang telah diketahui seperti ilmu jiwa masyarakat. Mereka suka menyelidiki akhlak menurut kenyataan dan tidak mengikuti gambaran-gambaran khayal, dan hendak melahirkan kekuatan yang ada pada manusia, dihubungkan dengan praktik hidup di dunia ini. Pandangan baru ini menghasilkan perubahan dalam menilai keutamaan. 10 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 Keutamaan kedermawanan umpamanya tidak mempunyai lagi nilai yang tinggi sebagaimana pada abad-abad pertengahan dan keadilan sosial menjadi beroleh nilai dan harga yang belum pernah diperoleh pada masa yang lampau. Pandangan ditujukan ke arah perbaikan segala apa yang mengelilingi pemuda, perempuan dan anak-anak dari susunan masyarakat sehinga pantas dan berguna bagi perseorangan. Penyilidikan-penyilikan baru mempunyai jasa dalam menentukan macam-macam hak dan kewajiban dan menimbulkan perasaan perseorangan akan besar tanggungjawabnya dihadapan masyarakat dan terhadap diri sendiri. Ahli filsafat Perancis yaitu Deskartes termasuk pendiri filsafat baru dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia telah menciptakan dasar-dasar baru, di antaranya: 1. Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya. Apa yang didasarkan kepada sangkaan dan apa yang tumbuhnya dari adat kebaiasaan saja, wajib ditolak. 2. Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang sekecil-kecilnya yang semudah-mudahnya. Lalu meningkat ke arah yang lebih banyak susunannya dan lebih dekat pengertiannya sehingga tercapai tujuan kita. 3. Wajib bagi kita jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran sesuatu soal, sehingga menyatakannya dengan ujian. Sejak zaman John Stuart Mill (1873) dan Spencer (1903) hingga sekarang, penyelidikan mengenai akhlak hanya menjelaskan teori-teori tersebut. Sehingga belum mendapat teori-teori baru, akan tetapi ahli-ahli ilmu pengetahuan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memperluas teori itu dan mencocokannya dengan praktik hidup. Pandangan Ibnu Maskawaih dan Al-Ghazali tentang Filsafat Etika Ibnu Maskawaih Di antara kajian yang menjadi perhatian utama Ibnu maskawaih adalah filsafat Yunani dan sejarah. Kedua kajian inilah di kemudian hari mengantarnya menjadi intelektual yang mengagumkan dalam kedua bidang tersebut. Seperti ilmuwan yang hidup di zamannya, Ibnu Maskawaih mempelajari filsafat dan 11 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) sejarah sebagai alat untuk menemukan kebenaran. Namun, ia lebih memberi tekanan kepada kajian filsafat terutama filsafat etika. Ia merumuskan langkah bagaimana membangun moral yang sehat serta menguraikan cara-cara membangun jiwa yang harmonis. Dalam kajian filsafat etika, Ibnu Maskawaih menelorkan karya monumental yaitu Tahdzîb al-Akhlâq (pembinaan akhlak). Dalam kitab yang terdiri atas tujuh bagian ini, secara umum ia membicarakan bagaimana seseorang dapat mencapai kebahagiaan tertinggi melalui moral yang sehat. (Mustofa: Ibid; 177). Hal ini menggambarkan bagaimana berbagai bagian jiwa diharmonikan untuk mencapai kebahagiaan. Ini adalah peran filsuf moral atau etika memberikan resep bagi kesehatan moral yang berpijak pada kombinasi pengembangan intelektual dan praktik keseharian. Pada bagian awal dalam kitabnya, ia membicarakan tentang jiwa dan sifat-sifatnya. Seseorang akan mampu menanggapi kebahagiaan hidup jika ia mampu menciptakan kebahagiaan moral dengan memenuhi sifat-sifat jiwa. Di antaranya adalah kedahagaan jiwa terhadap asupan ilmu. Selain itu, kendati jiwa mendapat banyak prinsip ilmu pengetahuan melalui indera, tetapi jiwa ini sendiri mempunyai prinsip lain serta tingkah laku yang lain pula, yang sama sekali bukan dari indera. Karena merupakan prinsip pertama dan tak akan demikian jika berasal dari sesuatu yang lain, maka kalau jiwa menilai antara dua hal yang ekstrim dan satu kontradiksi, hingga tak ada titik tengah, keputusan ini tidak diperolehnya melalui sesuatu yang lain.. Ibn Maskawaih memandang bahwa ilmu akan menuntun manusia untuk tak hanya bergantung kepada hal yang bersifat materi. Selanjutnya akan membuat manusia memiliki kebijaksanaan dalam meniti hidup yang akhirnya menjadikannya sebagai manusia yang sempurna. Itulah salah satu sifat yang dimiliki oleh jiwa. Dalam penjelasan berikutnya, ia menguraikan tentang jenis kebahagiaan dan sifat-sifat yang dimilikinya. Dalam pandangannnya, setiap manusia mampu mencapai setiap jenis kebahagiaan dengan cara memenuhi sifatsifat kebahagiaan itu. Ada dua hal yang dapat mempengaruhi manusia dalam mencapai kebahagiaan itu, yaitu kondisi eskternal dan internal dirinya. Kondisi internal yang mempengaruhi pemikiran dan arah moral seseorang 12 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 adalah kesehatan tubuh dan bagaimana kemampuan dirinya mengendalikan temperamen. Sedangkan kondisi eskternal adalah keadaan yang terkait dengan hubungan dirinya dengan orang lain serta lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya termasuk, teman sepergaulan, anak-anaknya dan kesejahteraan dirinya. Kedua kondisi inilah yang kemudian memperkaya jiwanya dalam mencapai kebahagiaan dirinya. Al-Ghazali Menurut Al-Ghazali akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. (Abdullah: Op. cit; h. 4). Orang yang berakhlak baik, ketika menjumpai orang lain yang perlu ditolong maka ia secara spontan menolongnya tanpa sempat memikirkan resiko. Demikian juga orang yang berakhlak buruk secara spontan melakukan kejahatan begitu peluang terbuka. Imam al-Ghazali membagi tingkatan keburukan akhlak menjadi empat macam yaitu: (1) Al-Jahil, keburukan akhlak yang timbul karena ketidaksanggupan seseorang mengedalikan nafsunya. (2) Al-Jahil Dhallun, perbuatan yang diketahui keburukannya, tetapi tidak bias meninggalkannya karena nafsu sudah menguasai dirinya. (3) Al-Jahil Dhallul Fasiq, keburukan akhlak yang dilakukan oleh seseorang karena pengertian baik baginya sudah kabur, sehingga perbuatan buruknya yang dianggap baik. (4) Al-Jahil Dhallul Fasiqus Syarir, Perbuatan buruk yang sangat berbahaya terhadap masyarakat pada umumnya, sedangkan tidak terdapat tanda-tanda kesadaran bagi pelakunya, kecuali hanya kekhawatiran akan menimbulkan pengorbanan yang lebih hebat lagi. Tingkatan keburukan yang keempat sama sekali tidak dapat dipulihkan kembali, karena itu agama Islam membolehkan untuk memberikan hukuman mati bagi pelakunya, agar tidak meresahkan masyarakat umum. Karena jika dibiarkan hidup, maka besar kemungkinannya akan melakukan lagi hal-hal yang mengorbankan orang banyak. (Mahjudin: 1991; 41). Menurut al-Ghazali bahwa kebaikan dan kejahatan hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akhlak seseorang, di samping bermodal pembawaan sejak lahir, juga dibentuk oleh lingkungan dan perjalanan hidupnya.Nilai-nilai akhlak Islam yang universal bersumber dari wahyu, disebut al-khayr, 13 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) sementara nilai akhlak regional bersumber dari budaya setempat, di sebut al-ma`rûf, atau sesuatu yang secara umum diketahui masyarakat sebagai kebaikan dan kepatutan. Sedangkan akhlak yang bersifat lahir disebut adab, tatakrama, sopan santun atau etika.Akhlak universal berlaku untuk seluruh manusia sepanjang zaman.Tetapi, sesuai dengan keragaman manusia, juga dikenal ada akhlak yang spesifik, misalnya akhlak anak kepada orang tua dan sebaliknya, akhlak murid kepada guru dan sebaliknya, akhlak pemimpin kepada yang dipimpin dan sebagainya. Seseorang dapat menjadi pemimpin (al-imâm) dari orang banyak manakala ia memiliki (a) kelebihan dibanding yang lain, yang oleh karena itu ia bisa memberi (b) memiliki keberanian dalam memutuskan sesuatu, dan (c) memiliki kejelian dalam memandang masalah sehingga ia bisa bertindak arif bijaksana. Secara sosial seorang pemimpin adalah penguasa, karena ia memiliki otoritas dalam memutuskan sesuatu yang mengikat orang banyak yang dipimpinnya. Akan tetapi menurut etika keagamaan, seorang pemimpin pada hakikatnya adalah pelayan dari orang banyak yang dipimpinnya (sayyid alqawmi khâdimuhum).Pemimpin yang akhlaknya rendah pada umumnya lebih menekankan dirinya sebagai penguasa, sementara pemimpin yang berakhlak baik lebih menekankan dirinya sebagai pelayan masyarakatnya.Oleh karena itu pemimpin yang baik disebut dengan sebutan pemimpin yang adil (imâmun `âdil) sementara pemimpin yang buruk digambarkan al-Qur`ân, dan juga alHadîst, sebagai pemimpin yang zalim (imâmun zhâlim). Mistisisme Islam dan Kemanusian dalam Tinjauan ke Masa Depan Dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi materialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali spritualisme. (Toffler: 1982; 80-110). Di sini spiritual dengan ajaran kerohanian dan akhlak mulia dapat memainkan peranan penting. Akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang barat yang bosan hidup dalam limpahan materi, lalu berusaha mencari hidup kerohanian di Timur. Mereka pergi mendatangi agama Budha, Hindu dan atau seperti aliran Subud di Jakarta. Kemiskinan spiritual itu terjadi di tengah kebahagiaan semu material, 14 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 dan ini membawa manusia modern pada kondisi orientasi pemahaman yang hanya bertolak pada bidikan filosofis dan sosial historis di samping pola nalar eksak model otak kiri (IQ), tanpa memperhatikan spritualitas (unsur otak kanan, EI), yakni substansi keagamaan yang bersifat ruhiyyahilahiyyah. Akibatnya ketika manusia telah menjadi bosan, jenuh dan sumpek terhadap hasil modernism-materialistik dan mekanis, pada saat itu mereka belum memiliki alternatif di tengah kegersangan jiwa yang dipanasi padang pasir hegemoni rasionalitas. Saat itulah mereka merindukan setitik sentuhan spiritual dan itu mereka temukan dalam mistisisme, gnosisme, tasawuf dan thariqah. Walaupun ini merupakan kesadaran yang terlambat, namun setidaknya kegersangan itu justru mampu membakar nilai kemanusiaan. Keadaaan sosiologis, psikologis dan kultur di era modern seperti dewasa ini terjadi, seakan-akan menunjukkan kembali arah turning point pada kebangkitan lagi mistisime Islam (tasawuf), sebagaimana sejak awal penyebab munculnya adalah antara lain karena: 1. memang di dalam diri manusia terselip bakat yang cenderung pada kehidupan rohani menjadi kegemarannya. 2. reaksi zaman dan tempat misalnya sesudah adanya suatu revolusi setempat atau penguasa bertindak sewenang-wenang, sehingga banyak orang bersikap apatis, masa bodoh, kemudian menerjungkan diri memasuki dan mendalami spiritual dengan penanam akhlak sebagai pionir kejuangannya. 3. jemunya orang dengan penghidupan yang enak di dunia, ingin menyenderi dan hidup sederhana seperti terjadi pada abad permulaan 4 H dahulu. 4. kegersangan spiritual akibat penetrasi keduniaan yang berlebih, dan berakumulasi dengan kondisi-kondisi sosiologis, politis, ekonomis yang membuat manusia mengalami kesenjangan kebahagian. (Sholikhin: 2004; 328). Keempat hal tersebut kini sedang menjadi satu keadaan, dan ini menyebabkan kajian tasawuf kian marak di kota-kota besar. Meskipun dalam hal kethariqahan, mereka kebanyakan mengambil jalur “bebas”. Demikian pula pengajian-pengajian tasawuf kian banyak diminati orang, sebagai usaha mengobati kerinduan jiwanya pada asal spiritual pribadinya yang paling fitri; 15 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) kedamaian dan kebahagian jiwa sepenuhnya yang sejati karena pertemuannya dengan Allah Swt. beserta dengan keridhaan-Nya. Sayangnya, masih banyak orang yang terjebak dalam konsep tasawuf teoritik, sehingga walaupun sudah mendapatkan banyak “ilmu” tentang tasawuf, tetap saja batinnya gersang. Hal ini karena sufi hanya dipahami sebagai teori mengelola hati, tanpa disertai dengan tindakan aflikatif. Dengan demikian diharapkan pemahaman mengenai prilaku sufi secara nyata, dan dapat dilaksanakan secara pragmatis, sehingga harapan akan adanya ketenangan batin serta kebahagian dunia akhirat, bukanlah hanya sekedar harapan kosong. Tasawuf (Mistisisme Islam) merupakan jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah. (Nasution: Op. cit; 62). Kesadaran akan Tuhan, kesadaran akan kerinduan bertemu dengan kebenaran sejati adalah spritualitas terpenting bagi pencerahan manusia. Sayangnya manusia sejak 300-an lalu mengalami kejatuhan spritualnya yang kedua kali, setelah kejatuhan pertamanya karena kecerdasan murni manusia yang terlupakan sejak hilangnya Firdaus pada manusia generasi pertama. (Schoun: 1991; 25). Maka sekaranglah saatnya, manusia kembali pada unsur terdalam dari jati diri kemanusian yakni, penyembahan dan mengabdi kepada Tuhan secara tulus disertai dengan amal saleh. Amal saleh merupakan pesan tasawuf yang paling pokok. Dilihat dari sudut filsafat Perennialisme (keabadian), pesan spiritual tersebut menjadi pesan yang bersifat eksternal dan integral dari semua agama. Maka dengan begitu nampak jelas, tasawuf berikut thariqatnya merupakan warisan pola keagamaan secara universal. Dalam pesan tasawuf itu termaktub kenyataan universalisme Islam, berikut kontinuitasnya sebagai hamba abadi yang diturunkan Allah kepada manusia, walaupun dalam kenyataan pentas sejarah kadang harus mengabil dan memakai “nama” atau “symbol” lain. Antara filsafat perennial dan tasawuf merupakan dua saudara yang bisa membentuk sinergi pencerahan manusia menghadapi hiruk pikuk millennium ketiga ini. Keduanya dewasa ini sama-sama memegang posisi penting untuk menyelamatkan peradaban manusia ke lembah kemulian moral, dan keridhan Tuhan. Persentuhan thariqah dan filsafat perennial, dapat kita lihat pada jawaban 16 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 dari pertanyaan apa itu filsafat perennial? Secara singkat Aldous Huxley menjelaskan, The perennial philosophy, yaitu: Pertama, metafisiska yang memperlihatkan sesuatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu. Kedua, suatu psikologi yang memperlihatkan adanya sesuatu dalam jiwa manusia (soul) yang identik dengan kenyataan ilahi itu.Ketiga, etika yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan-yang bersifat immanen maupun transeden-menegnai seluruh keberadaan. (Huxley: 1988; 69). Tujuan secara umum menempuh jalur sufi adalah menjadi orang yang selalu dekat kepada Allah (muqarrabin), sehingga mencapai maqam muhsinin yang memilki ma’rifatullah, (Zuhri: 1978; 57) yang diperoleh secara dzauq atau ilm al-laduny. KH. Hasyim Asy’ari menjelaskan, bahwa di samping raf al-himmah dengan makrifah al-khashshah-nya-untuk kedua keadaan itu, para tokoh sufi yang lain sering menyebutnya fana-serta husn al-khidmah, tujuan menjalankan thariqah adalah mempertinggi tata karma, adab dan akhlak. Beliau mengutip syair dari kitab Al-Mabahits al-Ashillah yang artinya: “tujuan thariqah ialah pendidikan tata karma, dalam segala tingkah laku, dan itulah mazhabnya. (Asy’ari: 1940; 16-17). Ciri-ciri pengetahuan ma’rifat yang diperoleh seorang sufi antara lain adalah: 1. Ilmu itu datang lewat cahaya ilahi yang mengejawantah dalam diri manusia, sehingga terbukalah segala hijab dan yang nampak adalah kebenaran ilahi. 2. Ilmu ini tidak terjangkau oleh rasio, karena ilmu itu selain tidak rasional juga rasio tidak mampu mengkajinya. 3. Ilmu itu hanya datang pada hati yang telah bersih (qalbun salim), yang hanya diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang terpilih. 4. Tidak seperti pengetahuan spekulatif yang melahirkan kira-kira, ilmu ma’rifat bersih pasti dan haqq al-yaqin. Melalui ilmu ini para sufi memperoleh hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya, dan hakikat alam semesta (hakikat makrokosmos dan mikrokosmos), dan inilah citra kemanusian yang sempurna yang diidealkan banyak orang dalam menghadapi masa depan. 17 FILSAFAT AKHLAK DALAM KONTEKS PEMIKIRAN... (Ipandang) PENUTUP Pada konteks pemikiran etika modern filsafat akhlak menempati posisi yang pnting sebab dengan filsafat akhlak akan dibentuk keadaan jiwa yang terlatih sehingga dalam jiwa tersebut benar-benar melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik. Di era modern ini masih sedikit yang menyelidiki filsafat akhlak, karena mereka telah merasa puas mengambil akhlak dari agama dan tidak merasa butuh kepada penyelidikan ilmiah mengenai dasar baik dan buruk.Agama adalah menjadi dasar kebanyakan buku-buku yang ditulis dalam akhlak.Padahal sesungguhnya filsafat akhlak tertuju pada pandangan kearah perbaikan segala apa yang mengelilingi manusia dalam menentukan macam-macam hak dan kewajiban dan menimbulkan perasaan perseorangan akan besar tanggungjawabnya dihadapan masyarakat dan terhadap diri sendiri dan kepada Tuhan. Dalam menghadapi dunia dan kemanusiaan dewasa ini yang dilanda oleh materialisme dan menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik,perlu dihidupkan kembali spritualisme. (mistisime Islam, ajaran kerohaniandan sifat kemanusiaan). Melalui mistisme Islamdiharapkan manusia akan memperoleh ketenangan jiwa, memahami hakikat kesempurnaan ilmu tentang dirinya,hakikat alam semesta dan kedekatan yang utuh dengan Tuhannya, sehingga inilah citra kemanusian yang sempurna yang diidealkan banyak orang dalam menghadapi masa depan. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Alquran.Cet. I; Jakarta: Amzah Ali,Yunalsir. 1987. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya Asmaran, AS. 2002. Pengantar Studi Akhlak.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Asy’ari, Hasym.1940. Al-Durrar Al-Muntatshirah fi Al-Masa’il Al-Tis’ Al-Asyarah, t.tp. Glasse, Cyril. 2002. Ensiklopedi Islam (ringkas), Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo. Hamka.2005. Tasawuf: Perkembangan dan pemurniannya.Cet. XX; Jakarta: PT. Pustaka Panjimas Huxley, Aldous. 1988. The Perennial Philosophy. New York: t.tp. 18 KURIOSITAS | Vol. 11, No. 1, Juni 2017 Jumantoro, Totok at. el. 2005Kamus Ilmu Tasawuf. Cet. I; Semarang: Amzah Mahjudin.1991. Kuliah Akhlak tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia. Mir Vahuddin.1993. (tanpa judul asli) diterjemahkan oleh Tim Penterjemah Pustaka Firdaus dengan judul Tasawuf Dalam Qur’an (Jakarta:Pustaka Firdaus. Munahen. t.th. A Sufi Rube For Novies diterjemahkan oleh Yunani Liputo dengan judul Menjadi Sufi. Bandung: Pustaka Hidayah. Mustofa.2005. Akhlak Tasawuf. Cet. III; Bandung: Pustaka Setia.. ----------.2004,.Filsafat Islam.Cet. I; Bandung: Pustaka Setia. Nasir, Sahilun A.1991. Tinjauan Akhlak. Surabaya: Al-Ikhlas. Nasution, Harun.1995. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang. Neuveld, Victria. 1995 Webster New Word College Dictionary. Ed. III; New York: McMilan. Poespoprodjo.1999. Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek.Cet. I; Bandung: Pustaka Grafika. Saleba, Jamil.tth. al-Mu’jam al-Falsafi, Beirut: Dar al-Kitab al-Lubhani. Schuon, Fritjof. 1991. Islam dan Filsafat Perennial. Bandung: Mizan. ---------.1991. The Roots of the Human Condition, 1991, edisi terjemahan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sholikhin, Mohammad. 2004. Tasawuf Aktual; Menuju Insan Kamil. Semarang: Pustaka Nuun. Syukur, Amin dan Masyhanuddin.2002. Intelektualisme Tasawuf, Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Toffler, Alvin. 1982. The Third Wave, Jakarta: pantja Simpati. Zaehner. 2004. Mistisime Hindu Muslim. Cet. I; Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. Zuhri, Syaifuddin. 1978.Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: Al-Ma’arif..

Senin, 22 Februari 2021

Sejarah Ilmu Filsafat

 Rahmad Romadon Srg

  Sejarah Ilmu Filsafat 

Disusun oleh Rahmad Romadon Srg mahasiswa PAI,FTIK,IAIN PADANG SIDIMPUAN 

A.Sejarah Ilmu Filsafat 

     Zaman Yunani kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan, atau antara + 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai cikal bakal filsafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat digantikan dengan logos (baca: rasio) setelah mitos-mitos tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis. Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berpikir sedalam-dalamnya tentang berbagai fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian terus meneliti berdasarkan reasoning power.           Contoh yang paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-orang Yunani terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai dewi yang bertugas sebagai pesuruh bagi dewa-dewa lain. Tetapi bagi mereka yang sudah berpikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang diktakan oleh Pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang  menjadi perhatian para ahli pikir Miletos --sebuah kota di Yunani-- pertama kali adalah alam (problema kosmologis). Zaman ini melahirkan pakar-pakar filsafat yang berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya, Thales (+ 625-545 S.M), Anaximandors (+ 610-540 S.M), Anaximanes (+ 538-480 S.M), Pythagoras (+580-500 S.M), Xenophanes (+570-480 S.M) Heraklistos (540-475 S.M) dan seterusnya. Thales misalnya yang pertama kali mempertanyakan dasar dari alam dan segala isinya. Dia mengatakan, bahwa asal mula dari segala sesuatu adalah airSedangkan menurut Anaximandros, bahwa asal segala sesuatu adalah apeiron (yang tak terbatas) yang disebabkan oleh penceraian (ekskrisis). Lain lagi dengan Anaximanes, dia berpendapat bahwa asal segala sesuatu adalah hawa atau udara. Pendapat Thales dan kawan-kawan sezamannya itu hingga sekarang masih aktual dan menarik sebagai inspirasi bagi munculnya teori tentang proses kejadian sesuatu (evolusionisme). Dalam hal berpikir logika deduktif, nama Aristoteles (384-322 S.M) tidak bisa dilupakan. Dasar-dasar berpikirnya tetap mendominasi para ilmuwan di Eropa hingga dewasa ini. Aristoteles adalah murid Plato (427-347 S.M) dan Plato adalah murid Sokrates (469-399 S.M). Perbedaan pendapat pada masa ini sudah timbul meski dengan gurunya, seperti Plato dengan Aristoteles, juga filosuf-filosuf  yang lain. Hingga kini logika Aristoteles tetap terpakai, sebab logika tersebut dapat diaplikasikan pada perkembangan muttakhir berbagai ilmu dan teknologi. Mula-mula logika Aristoteles menjelma dalam prinsip kausalitas ilmu alam (natural science), kemudian menjelma menjadi logika ekonomi di dalam industri (Cony R. Semiawan et.al, 1988 :10). Pasca Aristoteles, kira-kira lima abad kemudian, muncul lagi pemikir-pemikir jenius seperti Plotinus (284-269 S.M). Zaman ini adalah zaman filsafat Hellenisme di bawah pemerintah Alexander Agung. Hanya zaman ini berbeda sekali dengan zaman Aristoteles, dimana perkembangan ilmu tidak mengalami kemajuan yang pesat hingga abad pertengahan. Pada masa ini pemikiran  filsafat yang teoretis menjadi praktis dan hanya menjadi kiat hidup saja. Muncul pula aliran yang bercorak relijius, misalnya: filsafat neo-Pythagoras, Platonis Tengah, Yahudi dan Platonisme, termasuk aliran yang bersifat etis, Epikuros dan Stoa (Harun Hadiwijono, 1989 : 54). Pasca Yunani, bangsa yang berbudaya tinggi adalah Romawi. Dapat dikatakan, bahwa dalam kegiatan keilmuan bangsa Romawi pada umunya hanya berpegang pada karya-karya tokoh Yunani, terutama Aristoteles yang tanpa banyak mengadakan perubahan (Cony, et.al., 1988 : 14). Sejak runtuhnya kerajaan Romawi non-Katolik dan mulai berkembangnya agama Katolik Roma, kerajaan-kerajaan di Eropa masuk dalam abad kegelapan, abad kemandekan kegiatan keilmuan yang disebabkan antara lain karena para penguasa kerajaan di Eropa tidak concern terhadap perkembangan keilmuan disamping terlalu kuatnya pengaruh otoritas agama (Cony, at.al, 1988: 14). Sangat beruntung, selama kurun waktu ini di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan bangsa Arab yang diwarnai oleh Islam berkembang pesat dalam kegiatan keilmuan. Dengan didudukinya daerah-daerah Yunani dan Romawi secara berangsur-angsur oleh bangsa Arab, maka para ilmuwan mereka dapat memiliki khazanah pengetahuan yang sudah maju saat itu. Kemudian mereka melakukan pengembangan lebih lanjut dengan memberikan ciri-ciri khas penalaran dan penemuan mereka sendiri. Jadi merekalah (baca: kaum muslimin) yang sesungguhnya mengisi kesenjangan perkembangan ilmu dan pengetahuan saat Eropa dilanda “kegelapan” (Cony, et.al., 1988:15). Pasca Hellenisme dan Romawi kemudian disusul dengan masa patristik, baik Patristik Timur maupun Barat. (Disebut demikian karena masa ini adalah masa bapak-bapak gereja, kira-kira pada abad ke-8). Para pemikir Kristen pada zaman ini mengambil sikap yang berbeda-beda, ada yang menerima filsafat Yunani dan ada yang menolak mentah-mentah, karena filsafat dianggap berbahaya bagi iman Kristen (Harun Hadiwijono, 1989 : 70). Setelah ini kemudian muncul zaman pertengahan, atau disebut juga dengan zaman baru Eropa Barat. Sebutan Skolastik menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan abad ini diajarkan oleh sekolah-sekolah gereja (Harun, 1989: 87). Pada zaman pertengahan ini ilmu dikembangkan dan diarahkan atas dasar kepentingan agama (Kristen) dan baru memperoleh kemandiriannya semenjak adanya gerakan Renaissance dan Aufklarung abad ke-15 dan 18. Semenjak itu pula manusia merasa bebas, tidak terikat oleh agama, tradisi, sistem, otoritas politik dan sebagainya (Koento Wibisono, 1988: 4). Sejak saat inilah filsafat Barat menjadi sangat antroposentris, manusia bebas “mengadili” dan menghakimi segala sesuatu yang dihadapinya dalam hidup dan kehidupannya. Pada saat ini pulalah filsafat dan agama menjadi mencair tidak manunggal lagi. Agama mendasarkan diri atas iman dan kepercayaan, kebenaran wahyu dan firman Tuhan, sementara filsafat dengan mengembangkan rasio dan pengalamannya mencoba menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan semangat “kebebasan” dan “pembebasan” manusia dalam hidup dan kehidupannya (Koento Wibisono, 1985 : 7-8). Diawali oleh metode berpikir ala Bacon (1561-1626 M) disamping tampilnya “anak-anak” renaissance, seperti: Copernicus (1473-1630 M), Galileo (1564-1642 M), Kepler (1571-1630 M) dengan hasil-hasil penelitiannya yang spektakuler, maka tibalah gilirannya kini filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu alam (natural sciences). Para filosuf sendiri sangat terpukau oleh keberhasilan metode ilmu pasti dan ilmu alam, sehingga timbullah gagasan di antara mereka untuk menerapkan metode tersebut dalam filsafat, misalnya Newton (1643-1727 M) dengan Philsopohae Naturalis Principia Mathematica-nya, Descartes (1596-1650 M) dengan Discours de la Methode-nya, Spinoza (1632-1677 M) dengan karya Ethic-nya dan seterusnya, yang dengan pengembangan teori-teori tersebut mereka dipandang sebagai “Bapak” filsafat modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Hampir dua abad lamanya, filsafat modern yang dimulai sejak abad ke-16 diisi oleh pergumulan hebat antara rasionalisme dan empirisme, sehingga seorang pakar besar Immanuel Kant (1724-1804 M) dengan karyanya yang masyhur, Kritik der reinen Vernunft berhasil “memugar” objektivitas ilmu pengetahuan modern (Koento Wibisono, 1985: 7-8). Demikianlah kemajuan berpikir manusia dari kurun ke kurun mengalami perkembangannya, mulai dari zaman Yunani Kuno, zaman renaissance(abad ke-15), Aufklarung (abad 18) hingga abad ke-19 dan abad ke-20, mulai dari dari J.C. Fichte (1762-1814 M) hingga Gabriel Marcel (1889-1973 M), bahkan hingga 

FILSAFAT ILMU FILSAFAT IDOLA MASA DEPAN

 Disusun oleh: Rahmad Romadon Srg e-mail: romadonrahmad64@gamil.com                                                                       ...